Selembar Surat dari kekasih

“Aku ingin putus”. Kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibir mungilnya. Kupandangi wajahnya dengan penuh tanya, tak dapat kusembunyikan kerut di dahiku. Aku kaget. Rasanya, hubungan kami baik-baik saja, setidaknya kami tidak bertengkar dalam satu bulan terakhir. Hmm sebentar, sepertinya, sudah lama sekali kami tidak ribut. Tidak ada yang salah kan?
“Kenapa?”  tanyaku kebingungan. Dia masih menunduk dan sepertinya tidak berniat mengangkat kepalanya atau menjawab pertanyaanku. Kami membisu. Lama…
“Kamu nggak mencintaiku”. Akhirnya, gadisku membuka suara. Namun, suaranya yang lembut itu malah menuturkan kepedihan yang mendalam. Siapa bilang aku tidak mencintainya?
Bidadariku, impianku… Dia persis seperti apa yang kuimpikan selama ini, satu-satunya gadis yang bisa memenuhi segala inginku. Dia cantik, lembut, pintar, dan sangat menghormatiku. Laki-laki mana yang tidak mencintai wanita demikian?
“Aku mencintaimu, sayangku. Ada apa denganmu? Aku bingung”. Sungguh aku bingung, dari mana dia mendapatkan ide gila seperti ini. Aku sungguh-sungguh mencintainya. Ya Tuhan, apa yang terjadi?
“Sebaiknya kamu pulang dulu”. Kembali dia bersuara. Menyuruhku pulang. Aneh, biasanya, dia tidak pernah memintaku pulang sebelum aku sendiri ingin pulang. Kupandangi pucuk kepalanya, masih juga menumpukan pandangannya pada rerumputan di halaman pondokannya. Tempat biasanya kami menghabiskan waktu bersama sambil memainkan gitar bututku dan menyanyikan lagu cinta baginya. Dia akan mendengarkan dengan seksama, tak berkedip, hanya diam seakan terbawa suasana roman tersebut.
Kukecup puncak kepalanya, sama seperti biasanya ketika aku ingin pulang. Kekasihku masih tak bereaksi. Kulangkahkan kakiku ke luar pekarangan. Kepalaku penuh dengan dugaan. Biasanya, dia tidak pernah membantahku, dia menghormatiku, mendengarkan kata-kataku dengan penuh perhatian. Aneh sekali…
“Ga, ada surat di meja, dari Intan”. Benny teman pondokanku menunjuk ke meja. Di sana tergeletak sebuah amplop putih, tertera namaku dengan jelas. ADIRANGGA PERMANA. Tulisan tangan yang sagat kukenal, kekasihku, DEWI INTAN PRASETYA. Lekas kurenggut surat tersebut dari meja, kubawa ke kamar.
Dear Angga,
Telah kulewati saat-saat manis bersamamu, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Terima kasih telah memenuhi impianku memiliki seorang pangeran yang melindungiku, memegang tanganku di saat kujatuh dan menyanyikan lagu-lagu cinta yang indah.
Kusadari beberapa saat kemudian, aku begitu mencintaimu; hanya, aku tdak cukup yakin kau mencintaiku sebesar aku mencintaimu. Aku hanyalah bayangan bagimu, yang bisa kau atur sedemikian rupa sesuai dengan keinginanmu.
Awalnya kupikir, dirimu adalah sang pangeran yang melindungiku. Tapi, akhirnya, yang kurasakan hanyalah kungkunganmu yang yang terlalu mengikat. Aku tidak boleh bicara pada si A karena dia bisa melukaiku, si B tidak bisa menjaga rahasia, atau si C terlalu egois. Aku tidak pernah pergi ke mana pun selain bersamamu.
Awalnya, kupikir dirimu ada untuk memegang tanganku ketika kujatuh. Namun, pada akhirnya, pergelangan tanganku terasa sakit karena kau bukan hanya memegang, tapi juga mencekal tanganku dengan sangat keras.
Kau tidak suka kepada gadis yang lemah. Menangis adalah simbol kelemahan menurutmu. Aku tidak boleh menangis, bahkan ketika aku merasa sangat sakit.
Kau nyanyikan lagu-lagu cinta yang indah hanya karena kau ingin ada yang mendengarkan nyanyianmu. Kau tidak pernah menanyakan apakah aku menyukai lagu yang sedang kau lantunkan. Atau apakah aku sedang ingin mendengarmu bernyanyi? Atau, apakah aku sedang ingin kita pergi ke suatu tempat berdua? Semua keputusan ada di tanganmu.
Ah, semuanya terasa begitu indah, namun aku tidak tahan. Sungguh Angga, aku tergila-gila kepadamu. Tapi, rupanya, cinta saja tidak cukup. Tidak cukup jika orang yang kita cintai perlahan-lahan membuat kita kehilangan diri kita yang sebenarnya. Aku menjadi kekasihmu yang penurut tanpa keinginan sendiri.
Maafkan aku… Aku ingin menentukan jalanku sendiri. Maaf, sekali lagi maaf…
Termangu kupandangi helaian surat terakhir kekasihku. Rupanya demikian baginya.
Terbangun, kusadari jemariku masih menggenggam kuat surat Intan. Lusuh dan tak berbentuk surat lagi. Kupandangi surat itu sekali lagi. Masih kuterdiam, tak ada kata yang muncul dalam benakku. Otakku serasa lumpuh total, kaku.
Beranjak aku menuju kamar mandi. Kuguyurkan banyak-banyak air ke kepalaku, siapa tahu dapat menjernihkan pikiranku, melepaskanku dari kelumpuhan otak dan membuatku melihat masalah ini lebih jelas.
Bayangan Intan menari-nari dalam pikiranku. Tawanya saat kali pertama kami bertemu membuatku jatuh cinta, secantik bidadari. Dalam hati aku berjanji tidak akan membuatnya menangis, dia akan selalu tertawa bersamaku.
Akhirnya, kami berbicara tentang banyak keputusan demi kebaikannya. Ah, sebenarnya bukan kami yang bicara. Tapi aku. Intan mendengarkan saja. Kupikir, dia pendiam dan jarang bicara, dia banyak tersenyum. Yah, tak pernah kudapati lagi tawa selepas pertermuan pertama kami dulu. Salahkukah atas semua yang berubah pada Intanku, bidadariku?
Dear Intan kekasihku,
Bukan karena aku tidak cukup mencintaimu… Sebaliknya, aku sangat mencintaimu, tergila-gila kepadamu sampai tak kusadari bahwa segala usahaku telah melukaimu sedemikian perihnya.
Cinta tidak pernah salah, Tan. Hanya egoisme manusia saja yang menodai cinta, seperti aku sekarang. Egoismeku membuatku mencintaimu dengan cara yang salah.
Kusadari segalanya sekarang, Sayang… Maafkan aku. Beribu maaf karena telah melukaimu… Terima kasih telah menyadarkanku dari tidur panjang, tidur beralas dan berbantalkan tangis dan kepedihanmu.
Dalam hidupku, kau tetaplah bidadariku… Dirimulah satu-satunya bidadari yang berkenan menjejakkan kaki dalam hidupku dan membuat hidupku tidak akan pernah sama lagi.
Kuiringi langkahmu dengan doa, bukan berarti aku tidak mencintaimu lagi. Masih… aku masih mencintaimu, tapi kuhormati keputusanmu. Langkah kecilku untuk mewujudkan kebahagiaanmu, melihat tawa lepasmu lagi, walaupun dari kejauhan.

Kulipat surat balasanku kepada Intan, mantan kekasihku. Seperti itulah status yang kusetujui atas permintaannya demi kebahagiaannya, demi tawa lepasnya lagi. Lega rasanya melepaskan kegalauanku atas kesalahan yang sudah kulakukan pada hidup gadis yang paling kucintai.
Kupelajari banyak hal dari helaian suratnya kemarin, sekarang kutempelkan di dinding kamar agar selalu ingat bahwa mencintai berarti membebaskan. Memercayainya untuk bertanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya sendiri. Karena mencintai, tidak memberiku hak penuh untuk mengatur hidupnya.

Facebook Twitter RSS